Gereja tidak pernah kehilangan rasa syukur kepada Allah dalam segala keadaan karena penyertaan Allah juga tidak pernah hilang dalam kehidupan umat-Nya. Hal itu jugalah yang terus kita alami termasuk di dalam kondisi pandemi dan berbagai bencana yang terjadi saat ini.
Di tengah rasa syukur karena penyertaan Allah itu, kita perlu mengajukan pertanyaan reflektif: "Apa refleksi dan aksi gereja di tengah pandemi dan berbagai bencana yang telah kita alami?" Ketika kurva penyebaran virus terus meningkat dan korban terus berjatuhan, sebuah wacana lahir dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI), 25-26 Januari 2021, agar PGI dan seluruh anggotanya dapat beradaptasi dan menciptakan aksi nyata untuk merawat kehidupan.
Sidang kali ini, yang secara perdana diadakan secara daring, mengangkat Pikiran Pokok: "Spiritualitas Keugaharian; Memperkuat Solidaritas Kebangsaan, Mengadaptasi Pola Hidup Baru di Tengah Pandemi". Sidang ini diikuti 262 peserta, terdiri dari utusan Gereja Anggota PGI, utusan PGIW/SAG, Pimpinan PGI serta para peninjau yang terdiri dari lembaga mitra PGI. Sidang bersyukur dan mengapresiasi kehadiran Presiden RI, Joko Widodo, yang dalam sambutannya menghargai upaya PGI dan gereja dalam lingkungan PGI terlibat aktif dalam mengatasi pandemi ini, serta mengajak seluruh gereja untuk bersama mensukseskan program vaksinasi.
Sidang juga bersyukur atas kehadiran Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, yang dalam ceramahnya antara lain mengungkapkan komitmennya sebagai Menteri Agama untuk seluruh agama, serta ajakannya agar dalam beragama jangan mendasarkan diri pada keimanan buta.
Melalui Sidang MPL-PGI 2021 ini diharapkan gereja menggumuli kembali arti keesaan dan kehadirannya di tengah bangsa dalam konteks pandemi Covid-19 dan berbagai bencana yang terjadi. Sehubungan dengan itu, berdasarkan refleksi dan percakapan selama persidangan, Sidang MPL-PGI mengajak kita semua untuk:
1.Waktunya kita meratap!
Panggilan pertama bagi gereja adalah merendahkan diri seperti Kristus yang merendah menjadi manusia, dan menempatkan diri bersama saudara-saudara kita yang sedang berduka akibat: pandemi Covid-19, diskriminasi berdasarkan agama, politik identitas, rasisme, ekstrimisme, bencana alam, rupa-rupa kehilangan (pekerjaan, orang yang dicintai, sumber penghidupan, kemerdekaan karena ketidakadilan), kerusakan lingkungan, kekerasan seksual, dan berbagai sebab lainnya. Saat ini adalah waktu untuk merenung, menahan diri, berpuasa sekaligus menyadari kerapuhan kita di hadapan Allah dan mengakui bahwa Dialah Sang Pemilik Kehidupan dengan kemahakuasaan-Nya.
2. Waktunya kita bertobat!
Di tengah kerapuhan diri, ini saatnya kita untuk bertobat. Dimulai dengan melihat lebih jauh, apa yang sedang terjadi, apa kontribusi kita di tengah berbagai persoalan yang menimpa bangsa ini? Bagaimana cara kita merawat kehidupan dan melewati berbagai duka ini? Selama ini bisa jadi kita terlalu egosentris dan egois sehingga mengabaikan hak dan kepentingan sekitar kita termasuk juga alam semesta. Kerusakan ekologi, rasisme, ketidakadilan menjadi potret kita hari-hari ini. Sidang menyerukan agar gereja terus memberi perhatian serius dalam hal ekologi. Pertobatan ekologis menjadi suatu langkah nyata dalam kehidupan bergereja. Di sisi lain kita juga meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan hak-hak rakyat dan kelestarian lingkungan di tengah upaya mencapai pertumbuhan ekonomi.
3. Kasihi sesamamu!
Gereja harus terlibat aktif menghadirkan Kerajaan Allah dalam pergumulan dunia, masa kini di sini, berinisiatif dalam berkolaborasi dan saling merangkul dengan segenap warga bangsa dalam mengusahakan ketahanan kesehatan dan ekonomi umat, terutama dalam konteks pandemi, paska pandemi, dan di segala zaman. Gereja bukanlah jembatan atau tempat pelarian manusia dari dunia ini, tetapi jembatan bagi karya Allah untuk dunia ini. Kita harus mensyukuri dan terlibat dalam karya Allah di dalam dan di luar gedung gereja, membawa kesembuhan dan pengharapan jauh melebihi pagar gereja yang tampak. Karenanya kehadiran gereja harus menumbuhkan pengharapan supaya pandemi Covid-19 tidak berubah menjadi pandemi keputusasaan. Dalam kaitan dengan mengasihi sesama, kita perlu secara aktif merawat kehidupan dengan memutus mata rantai penyebaran pandemi ini. Gereja perlu mendukung upaya pemerintah untuk melakukan vaksinasi bagi masyarakat luas, melalui keteladanan para pemimpin gereja dan upaya edukasi yang memberikan keyakinan umat untuk ikut serta dalam upaya baik ini, dan hendaknya tidak-lelah-lelahnya menyuarakannya lewat mimbar-mimbar gereja.
4.Jangan lupakan persoalan Papua!
Dalam kaitan dengan persoalan Papua, setelah lebih dari setengah abad berintegrasi ke dalam Republik Indonesia, kita sangat prihatin dengan pelanggaran HAM yang tak kunjung usai, Papua masih terus bersimbah darah dan penuh dengan ketidakadilan serta kemiskinan. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih serius untuk menyelesaikan persoalan Papua bukan dengan pendekatan keamanan melainkan melalui pendekatan kultural yang lebih komunikatif dan persuasif.
5. Kembangkan pelayanan virtual!
Di tengah pandemi yang masih terus terjadi, gereja perlu mewujudkan pelayanan virtual yang seoptimal dan seefektif mungkin, namun dengan tetap memperhatikan esensi gereja sebagai sebuah persekutuan yang hidup saling menopang dan menjadi berkat bagi dunia, serta tetap memperhatikan warga jemaat yang gagap teknologi dan/atau tak memiliki akses bagi pelayanan virtual. Pelayanan pastoral terhadap warga gereja tidak boleh diabaikan di tengah maraknya pelayanan secara virtual. Dengan demikian, kehadiran dan peran pastoral gereja sungguh terus dialami di tengah kehidupan warga gereja dan masyarakat.
6.Kembangkan eklesiologi "baru"!
Pandemi Covid-19 sungguh telah mengubah begitu banyak hal. Oleh sebab itu, demi kehadiran gereja yang terus relevan dalam kehidupan bersama, sebagaimana sebelumnya juga telah diamanatkan oleh Sidang Raya PGI 2019 di Waingapu, gereja perlu memikirkan dan merekonstruksi kembali eklesiologi dan teologi ibadah yang ada selama ini. Pandemi telah meretas hegemoni kuasa pejabat dan institusi gereja, dan memberi ruang luas bagi peran umat dalam kehidupan bergereja. Rekonstruksi eklesiologi itu hendaknya juga dengan memerhatikan kondisi nyata medan gereja-gereja di Indonesia yang rawan bencana.
Kiranya kita sebagai umat-Nya tetap mempercayai kasih Allah dan tetap berkarya sambil merawat kehidupan. (PGI.or.id/d)
Sumber
: Hariansib edisi cetak