Sabtu, 15 Maret 2025

Sintua yang Diberkati dan Menjadi Berkat

* Oleh Pdt Dr Victor Tinambunan, MST, Dosen STT HKBP Pematangsiantar
Redaksi - Minggu, 09 Agustus 2020 17:41 WIB
5.259 view
Sintua yang Diberkati dan Menjadi Berkat
Foto: Dok/Pdt Dr Victor Tinambunan, MST
Pdt Dr Victor Tinambunan, MST
Satu hal sangat perlu ditekankan dalam kehidupan bergereja adalah bahwa Kristus tetap Pemilik Gereja dan segala pelayanannya. Tuhan Yesus tidak pernah melakukan "serah terima" gereja dan segala pelayanannya kepada siapa pun.

Para pelayan adalah "mitra kerja Kristus". Itu pun sebenarnya adalah anugerah Tuhan. Sebab, siapakah para pelayan gereja sehingga Ia mengikutsertakan mereka dalam pelayananNya? Sekali lagi, keikutsertaan para pelayan adalah anugerah Tuhan.

Di HKBP Sintua masuk dalam garda terdepan pelayanan. Dengan jumlah jemaat HKBP 3.627 (berdasarkan Almanak HKBP 2020) dengan rata-rata 12 Sintua saja, maka jumlah sintua di HKBP lebih dari 40.000 orang (dalam era digital ini sebenarnya sangat dimungkinkan membuat database Sintua). Para Sintua HKBP dengan sukarela melayani di jemaat masing-masing. Dalam mewujudkan tugas panggilannya, Sintua HKBP harus seiring dengan visi HKBP yaitu "menjadi berkat bagi dunia".

HKBP Sebagai Milik Tuhan
Lahir dan hadirnya HKBP di bumi ini bukanlah kebetulan. HKBP lahir seturut rencana dan pekerjaan Tuhan melalui orang-orang pilihanNya. Tuhan yang melahirkan HKBP, Ia jugalah pemiliknya dari dulu hingga sekarang bahkan sampai akhir zaman. Dalam kaitan itu, HKBP (pelayan, termasuk sintua, dan warganya) sesungguhnya tidak punya misi dari dirinya sendiri. Allah sendirilah yang bermisi, di mana warga dan pelayan HKBP diikutsertakan dalam misi Allah. Jadi, para Sintua HKBP haruslah melayani dalam pimpinan dan tunduk pada Tuhan, pemilik gereja termasuk HKBP. Hanya dengan demikianlah HKBP dapat sungguh-sungguh sebagai gereja yang benar, menjadi berkat atau garam dan terang bagi dunia ini, dan menjadi kemuliaan bagi Tuhan. Karena itu, kita mesti sangat hati-hati dengan ungkapan-ungkapan "hurianta" (gereja kita) atau "huria nami" (gereja kami). Jangan sampai ungkapan itu menjerumuskan kita kepada prinsip "lomonta"(kehendak kita) atau "lomo nami" (kehendak kami).

Sehubungan dengan itu, seluruh perhatian, gerak pelayanan atau program dan seluruh kehidupan bergereja seharusnya mencerminkan karya dan kasih Kristus, sang pemilik gereja itu. Untuk tiba pada keadaan demikian, kita perlu terbuka mengenali keberadaan kita dan sekaligus terbuka pada perubahan ke arah yang lebih baik. Peranan para sintua sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Kedewasaan Iman
Meskipun tidak ada alat ukur kedewasaan iman secara matematis, namun kita dapat "melihatnya" dari kehidupan gereja dan orang-orang Kristen. Pertanyaannya adalah, "Dalam kehidupan para pelayan dan warga gereja: "apakah iman yang mempengaruhi seluruh kehidupan kita, atau justru keduniawian yang mempengaruhi hidup sehari-hari dan kehidupan gereja kita?" Jika kita jujur, setidaknya terhadap diri kita, ada kalanya (mudah-mudahan tidak biasanya) kedagingan atau keduniawian yang mengemuka dalam hidup pribadi dan kehidupan gereja. Bagaimana warga kita menghadapi isu begu ganjang, dengan jatuhnya banyak korban;korupsi yang terus merajalela (termasuk penyelewengan keuangan gereja); begitu banyaknya warga kita yang membius diri dengan impian menggiurkan dengan judi, togel, nikotin, alkohol, narkoba, perpecahan jemaat karena perselisihan; meningkatnya angka perceraian suami-istri; dan berbagai persoalan lain, semuanya ini membuktikan kedangkalan iman.

Dalam keadaan demikianlah tugas mendesak kita untuk sungguh-sungguh meningkatkan kualitas dan kuantitas gereja sekaligus. Kualitas yang dimaksudkan agar kekristenan pelayan dan warga gereja lebih mempengaruhi totalitas kehidupan bergereja, bermasyarakat dan kehidupan keseharian termasuk dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Kuantitas, berkaitan dengan tanggung jawab gereja untuk membawa kembali semua warganya ke gereja. Gereja perlu menggalakkan "kebangkitan baru" agar semua warga jemaat aktif dalam kehidupan bergereja. Tugas penggembalaan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dengan pertolongan Tuhan para Sintua HKBP dapat mewujudkan salah satu tugas utamanya dalam merawat iman warga jemaat.

Kedewasaan Iman dan Toleransi
Kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, di mana hampir semua agama besar dunia ada. Sampai saat ini orang-orang Kristen masih mengalami berbagai hambatan bahkan penganiayaan dari segelintir penganut agama lain. Yang menggembirakan dan memberi harapan ke depan ialah kenyataan bahwa tidak ada agama yang secara resmi membenarkan kekerasan dan pengrusakan rumah ibadah. Yang ada adalah oknum penganut agama tertentu yang tidak menerima keragaman dan dan tidak menghargai hak sesama warga bangsa untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya.

Sejalan dengan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan dan pengrusakan gedung-gedung gereja, pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab dengan pikiran jernih dan hati bening, antara lain adalah:"Apa di balik semua pengrusakan gereja dan pembatasan beribadah bahkan penganiayaan orang Kristen? Apakah ajaran dan ujaran gereja sudah benar?

Apakah gereja sudah menjadi berkat bagi sesama?"
Sikap gereja memang jelas dan tegas bahwa segala bentuk kekerasan dan pengrusakan meskipun dilakukan atas nama agama adalah sebuah kejahatan dan melanggar hak asasi manusia. Tetapi, kita juga perlu memastikan bahwa kehadiran gereja di tengah-tengah masyarakat majemuk dapat dirasakan membawa berkat dan kebaikan umat manusia. Gereja dan orang-orang Kristen harus terus berjuang untuk menempatkan diri sebagai sahabat bagi sesama manusia.

Berbeda dengan para pelayan penuh waktu, para sintua pada umumnya tidak berpindah-pindah. Mereka menjadi bagian dari masyarakat setempat dalam waktu lama. Dengan demikian, peranan para sintua sangat penting dalam mewujudkan terciptanya harmoni dalam kehidupan masyarakat.

Kedewasaan Iman dan "Cara"
Anthoni de Mello pernah menulis sebuah cerita yang kurang lebih seperti berikut ini. Seorang pria berusaha memberikan minyak ikan kepada anjingnya. Niatnya baik, yakni, agar anjingnya sehat. Tangan kirinya memegang leher anjing itu dengan kuat dan tangan kanannya memegang sendok sambil menyodorkannya ke mulut anjing. Anjing itu meronta sambil menggerak-gerakkan kepalanya.

Sendok itu jatuh terhempas oleh kepala anjing dan minyak ikan pun tumpah. Pemilik anjing itu melepaskan anjing dengan rasa kesal. Tetapi ia heran, anjingnya justru menjilati minyak ikan yang tertumpah itu. Yang ditolak ternyata bukan minyaknya tetapi caranya.

Dalam bentuk yang lain terkadang kita juga mengalaminya. Niat kita baik, tetapi cara penyampaiannya tidak baik, sehingga tidak membuahkan yang baik. Hal ini terjadi dalam hubungan antar pribadi, keluarga, kehidupan jemaat dan kehidupan bermasyarakat. Hal yang sama juga sangat sering terjadi dalam kehidupan bergereja seperti dalam proses pelaksanaan penggembalaan (kunjungan kepada orang sakit, mengingatkan yang tidak datang beribadah), dalam rapat-rapat dan sebagainya.

Kedewasaan iman nampak dalam kebaikan buah pikiran, rencana yang baik, cara penyampaian gagasan dan cara melaksanakan pekerjaan untuk mencapai kebaikan. Inilah juga yang perlu kita terus pelihara dan kembangkan dalam kehidupan bergereja. Dalam kaitannya dengan perjumpaan dengan sesama, persekutuan dan rapat-rapat yang kita lakukan (termasuk dalam kehidupan bergereja), kita perlu mengembangkan dialog sehat dan meminimalkan 'debat'.

"Parsermonan parhalado" (persekutuan rutin para pelayan gereja untuk mempersiapkan khotbah dan ibadah) dan rapat-rapat parhalado akan sangat teduh dan membuahkan berkat jika seluruh pelayan, termasuk sintua, berhikmat dalam penyampaian pikiran, usul, gagasan untuk keputusan yang terbaik.

Spiritualitas Pelayan Gereja
Untuk mendewasakan umat dibutuhkan para pelayan yang dewasa. Warga gereja dan masyarakat membutuhkan 'keteladanan' dari para pelayan. Hal ini dapat dimengerti karena sesungguhnya kualitas hidup seorang pemimpin haruslah di atas rata-rata mereka yang dipimpin. Akan tetapi, akhir-akhir ini sering muncul berbagai kritik bahkan protes terhadap kualitas hidup para pelayan gereja dengan berbagai kasus yang terjadi. Kritik bahkan protes demikian, sebaiknya diterima dengan rendah hati dan semangat perubahan hidup. Dengan sikap demikianlah keadaan ke arah yang lebih baik dapat tercapai.

Untuk itu para pelayan gereja perlu meningkatkan spiritualitasnya. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas? Sebuah teko dapat menjelaskannya. Teko berisi teh sudah pasti akan mengeluarkan teh. Tidak mungkin ceret berisi tuak mengeluarkan jus. Demikian juga manusia. Kata-kata, ekspresi wajah dan tindakan atau perbuatan manusia ditentukan oleh 'isi di dalamnya', dan 'isi dalam' itu terkait erat dengan spiritualitas.

Spiritualitas berasal dari kata "Spirit" yang dalam hal ini berarti "Roh Kudus". Jadi spiritualitas dapat diartikan "kehidupan orang beriman yang didiami, disucikan dan dipimpin oleh Roh Kudus sehingga menghasilkan buah-buah Roh" yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal 5:22-23).

Berat tetapi tidak mustahil
Melihat luasnya dan beratnya tugas panggilan kita dan dipadu dengan berbagai persoalan yang mengemuka, tidak jarang kita menjadi merasa tidak mampu dan bahkan menyerah. Akan tetapi kita perlu menyadari bahwa sesungguhnya dari diri kita sendiri kita tidak mampu. Kita hanya dimampukan dan dilayakkan oleh Tuhan. Karena itu, fokus atau pusat perhatian para pelayan gereja bukan pada masalah berat, bukan pula pada ketidakmampuan kita, melainkan fokus pada Tuhan, sumber kekuatan kita, yang melayakkan kita dan yang memperlengkapi kita. Hanya dengan keterbukaan kita pada rahmat dan pertolongan Tuhanlah kita dapat mengemban tugas pelayanan kita dengan tekun dan sukacita. (c)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru