Jumat, 20 September 2024

Negara-Negara Perketat Regulasi BPA, Mengapa Indonesia Masih Lunak?

Donna Hutagalung - Rabu, 28 Agustus 2024 11:12 WIB
348 view
Negara-Negara Perketat Regulasi BPA, Mengapa Indonesia Masih Lunak?
(Foto: SNN/Dok)
Diskusi bertajuk "Fomo Apa-apa BPA Free", di Jakarta Selatan, 21 Agustus lalu.
Jakarta (harianSIB.com)

Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran global terhadap bahaya Bisfenol A (BPA), sejumlah negara di seluruh dunia kini memperketat regulasi untuk membatasi paparan senyawa kimia ini. Indonesia pun tak ketinggalan dengan mulai mewajibkan adanya label peringatan bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat.

Meski demikian, pemerintah memberikan waktu transisi yang cukup panjang kepada produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan BPA untuk menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut, yakni selama empat tahun sejak diberlakukannya peraturan baru ini.

Tekanan yang kuat dari berbagai pihak, termasuk asosiasi AMDK yang dipimpin oleh eksekutif perusahaan asing yang telah lama memproduksi galon polikarbonat berbahan BPA di Indonesia, serta opini beberapa pakar yang kurang didukung oleh riset ilmiah, telah menghambat proses peresmian regulasi ini. Akibatnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru dapat meresmikan regulasi terkait BPA pada tahun ini.

Baca Juga:

Prof. Akhmad Zainal Abidin, seorang pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam diskusi bertajuk "Fomo Apa-Apa BPA Free", di Jakarta Selatan, pada 21 Agustus lalu, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pelabelan "BPA Free" pada botol PET dapat menyesatkan konsumen.

Menurutnya, bahaya bukan hanya datang dari BPA, tetapi juga dari bahan kimia lain seperti etilen glikol. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pelabelan yang lebih spesifik.

Baca Juga:

Meskipun dikenal sebagai pakar yang pandangannya cukup moderat terhadap bahaya BPA, Akhmad kembali mengkritisi regulasi BPOM tentang pelabelan galon polikarbonat berbahan BPA.

Sebaliknya, Akhmad juga mengecilkan arti sebutan label "BPA Free" pada botol plastik bening dari jenis Polietilena tereftalat (PET), yang justru secara internasional dinilai jauh lebih aman dan karenanya lazim digunakan di seluruh dunia.

Akhmad kembali menyampaikan kritik dengan menyoroti kurangnya transparansi dalam pelabelan produk dan kebutuhan mendesak akan informasi yang akurat tentang bahan kimia berbahaya.

Meski demikian, ia mengakui adanya potensi bahaya jika kandungan zat berbahaya seperti BPA melebihi ambang batas.

"Ada faktor bahaya? Ya kalau jumlahnya itu gede ya ada, tapi kalau jumlahnya kecil ya aman. Tapi sejauh ini, jumlahnya enggak besar," katanya, sebagaimana siaran pers yang diterima harianSIB.com.

Sekadar mengingatkan, BPOM sudah cukup transparan dengan memutuskan untuk mengeluarkan regulasi terkait pelabelan bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat, setelah sebelumnya mendapatkan data tiga kali hasil pemeriksaan pada fasilitas produksi dalam kurun waktu 2021-2022. Di mana didapati kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13%, 3,45%, dan 4,58%.

Mengenai pernyataan Akhmad yang agak mengecilkan bahaya BPA kalau dalam jumlah kecil, realitasnya justru menunjukkan sebaliknya.

Dalam lima tahun terakhir, negara-negara Eropa bahkan sudah bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman. Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian (total daily intake/TDI) pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari.

Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) pun sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA.

Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah.

"Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada," kata Anisyah, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM, saat wawancara dialog tentang BPA di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu.

Editor
: Donna Hutagalung
SHARE:
komentar
beritaTerbaru