Medan (SIB)
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Ismail Lubis menyarankan agar penerapan hukum keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) yaitu tanpa harus berakhir dengan memenjarakan (mempidanakan) tersangka yang melakukan tindak pidana, diatur setingkat Undang-Undang (UU).
Pasalnya, penerapan hukum humanis yang sedang gencar-gencarnya digulirkan pihak kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung (MA) sampai ke Kemenkum HAM hingga kini masih sebatas peraturan di masing-masing pimpinan institusi.
"Harapannya memang RJ ini harus diatur setingkat dengan Undang Undang agar tidak beda pemahaman dan penerapan di masing-masing jajaran penegak hukum kita," ujar Ismail, Minggu (8/5).
Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA hingga Menkumham masing-masing memang membuat Peraturan tentang RJ dan tentunya hal tersebut berpotensi disalahgunakan oknum di masing-masing instansi.
"Jika di kejaksaan diterapkan RJ lalu pertanyaan selanjutnya adalah kenapa ketika kasusnya di penyidik kepolisian hal itu tidak dilakukan? Atau apakah mereka (penyidik) gagal dalam penerapan RJ atau bagaimana?," pungkas Ismail.
Pertanyaan lain, lanjut Ismail, inisiatif RJ datang dari siapa? Apakah jaksa sendiri atau berdasarkan permohonan tersangka dan keluarganya? Terus jika ada yang ditolak permohonan RJ-nya, apa alasannya?.
"Karena kita yakin masih banyak kasus yang seharusnya bisa mendapatkan 'kado' RJ tapi tidak dilakukan dengan alasan yang tidak jelas. Sehingga persamaan di hadapan hukum itu bisa menimbulkan bias di tengah-tengah publik," lanjutnya.
Menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU) itu, secara konsep publik khususnya LBH Medan mendukung penegakan hukum lewat RJ tapi harus diatur setara dengan UU.
Sama halnya dengan diundangkannya UU Sistem Pidana Anak. Harus jelas mengatur tentang RJ tersebut dan juga mekanismenya seperti apa serta penerapannya harus hati-hati dan tidak tebang pilih untuk instansi penegak hukum.
Faktanya, sambung Ismail, seiring dengan perkembangan zaman, tidak semua kasus dugaan tindak pidana harus berakhir dengan tersangkanya dipenjara.
"Bukan hanya merawat nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat tapi juga meminimalisir persoalan klasik overkapasitas penghuni Rutan maupun Lapas yang menghabiskan anggaran negara tidak sedikit," pungkasnya.
Diberitakan, Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan menginformasikan hingga pekan ketiga April 2022 lalu, sudah ada 59 kasus tindak pidana dihentikan penuntutannya lewat RJ. (A17/a)