Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 02 Juli 2025

Teknis Administratif Harus Mempermudah HAM

- Selasa, 16 April 2019 10:22 WIB
333 view
Ribut-ribut Pemilu 2019 karena tak bisa menggunakan haknya untuk mencoblos di TPS luar negeri membuktikan KPU tidak siap mengantisipasi lonjakan warga Indonesia yang akan menggunakan haknya. Mungkin pada masa lalu, antusiasme memilih tidak sebesar sekarang, sehingga jarang terdengar ada gejolak. Patut disayangkan saat kegairahan meningkat, justru terhambat atas sikap tak kooperatif petugas KPU di TPS.

Hak untuk memilih dalam pemilu merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tercantum dalam Undang-Undang No 39 tahun 1999, tentang HAM. Pada Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang HAM, dinyatakan, setiap orang bebas memilih dan mempunyai keyakinan politik. Sedangkan pasal 43 ayat 1 dinyatakan, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai peraturan dan perundang-undangan.

Alangkah sayangnya jika hak memilih tersebut disia-siakan karena alasan teknis. Sebab Pemilu bukan hanya ajang pertarungan antar pasangan calon dan partai saja. Pemilu merupakan momentum penting bagi rakyat untuk memilih pemimpinnya lima tahun mendatang. Salah memilih atau tidak bisa memilih sama saja menyerahkan 'nasib' Indonesia kepada orang yang tidak memiliki kemampuan memimpin.

Hak pemilih yang dilindungi konstitusi, tidak boleh dihambat termasuk ketika berhadapan dengan persoalan administrasi. Mereka yang menghalangi atau menghambat penggunaan hak suara bisa kena sanksi. Pasal 510 Undang-undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan "setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain tidak bisa menggunakan hak pilihnya dikenai pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda maksimal Rp24 juta".

Jadi KPU harus menjamin warga tidak kehilangan haknya memilih hanya karena alasan teknis yang sebenarnya bisa diantisipasi. Harusnya sudah ada persiapan dengan keluarnya putusan MK tentang dibolehkannya memilih hanya menggunakan e-KTP atau surat keterangan, meski namanya tak ada di DPT (daftar pemilih tetap). Petugas harus siaga dan tetap melayani saat pukul 13.00, jika antrean masih panjang serta jangan gegabah menutup pendaftaran.

Lalu kertas suara juga mesti disediakan tambahan, lebih dari biasanya. Pengalaman Pemilu sebelumnya tak bisa lagi sebagai patokan. Apalagi antusiasme kali ini berdasarkan survei agak meningkat. Ada banyak kelompok yang sebelumnya menyatakan diri Golput, kini bersemangat menggunakan hak pilihnya.

Sudah menjadi tugas KPU mengedukasi petugasnya di lapangan agar memahami aturan penyelenggaraan pemungutan suara. Petugas pemilihan tak bisa membuat aturan sendiri yang bisa merugikan pemilih. Mereka harus siap dengan beban kerja yang mungkin bertambah karena melonjaknya warga yang menggunakan e-KTP atau surat keterangan.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah memberi pesan ke anak buahnya, selain menjaga keamanan, juga agar mengingatkan petugas pemilihan di lapangan untuk menghormati hak warga memilih. Secara khusus, disampaikan kapan terakhir bisa mendaftar. Polemik pukul 13.00 tak bisa lagi mendaftar, telah dikoreksi. Jadi masih bisa, apabila antrean masih panjang, tetap bisa dilayani meski waktu lewat dari pukul 13.00.

Namun jauh lebih baik apabila warga menggunakan hak suaranya pada pagi hari. Jadi antrean tidak terlalu panjang dan tidak mepet. Mari membantu petugas pemilihan dengan tidak datang di "injury time". Demi bangsa dan negara, mari gunakan hak pilih.(**)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru