Mengerikan, ternyata berdasarkan data Markas Besar Polri ada 236 kasus pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi pada Januari hingga Mei 2019. Hanya 50 persen dari keseluruhan kasus yang bisa ditangani tuntas polisi. Ada sejumlah alasan alotnya penanganan perkara kejahatan terhadap anak tersebut.
Salah satunya karena masih tabunya berbicara perihal kejahatan seksual. Adat ketimuran dianggap masih tabu melaporkan kejahatan terhadap anak. Kendala lainnya adalah kondisi psikis korban.
Apalagi jika korban merupakan anak di bawah umur. Sebab, menjadi korban saja, sudah merupakan aib tersendiri untuk mereka. Belum lagi ada muncul ancaman dari pelaku, yang mungkin kenal dengan keluarga korban, atau bahkan masih kerabat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengamini kekerasan seksual yang dialami anak kebanyakan dilakukan oleh orang terdekatnya. Itu sebabnya, orang tua dan masyarakat harus meningkatkan kepekaan. Terutama terkait predator seksual yang sedang mengidentifikasi anak untuk dijadikan target.
Kekerasan seksual kepada anak biasanya tidak langsung terjadi. Hal yang sering terjadi adalah si pelaku melakukan proses identifikasi terlebih dulu kepada calon korban. Di dalam proses identifikasi ini, biasanya orang terdekat korban, misalnya orang tua tanpa sengaja akan memberikan informasi mengenai si anak.
Si pelaku kemudian akan bersikap baik kepada orang tua agar mendapatkan kepercayaan. Dia akan berusaha menjadi orang penting dan dibutuhkan keluarga si anak yang telah ditarget. Setelah mendapatkan kepercayaan, pelaku akan mendekati korban dan saat mereka hanya berdua, terjadilah kekerasan seksual.
Perkembangan internet juga memiliki andil memengaruhi kejahatan terhadap anak. Banyak predator seksual berinteraksi di media sosial dan kemudian menyeret ke komunikasi pribadi, bahkan bertemu secara offline. Anak yang tak waspada dan tanpa dampingan orang tua, akhirnya menjadi korban.
Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan internet memang sangat tidak ramah untuk anak. Apalagi Indonesia memiliki budaya mudah percaya dengan orang asing, terutama anak-anak di bawah umur. Masyarakat sebaiknya tetap bersosialisasi tanpa terpaku dengan ponsel, jika tidak maka bakal rentan menerima gangguan dari lingkungan.
Warga diharapkan tidak mengunggah data pribadi di media sosial, termasuk anak-anak. Patut dicatat bahwa media sosial tidak untuk anak di bawah umur. Jika anak harus menggunakan media sosial harus didampingi orang tuanya. (**)