Tahun Baru. Tak ada salahnya silaturahim dengan siapa pun di muka bumi ini. Tadi, setelah ibadah Minggu pertama awal tahun, ketemu mantan.
Tak sengaja aku melihatnya. Antara lupa dan ingat, kapan terakhir kali melihatnya. Saking seriusnya menatap, ia jadi grogi dan refleks mendada padaku.
Basa-basi aku memintanya datang ke rumah. Soalnya, kalau aku ke rumahnya, tak etis. Aku juga tak mau. Apalah kata omaknya, yang dulu galak kayak singa lapar padaku. Tetapi, penilaian omaknya ada benarnya.
Jika dulu tetap bersamaku, borunya itu mungkin entah jadi apa. Aku sih masih seperti dulu, belum punya kerja tetap. Sementara borunya sudah sukses. Merantau ke Ibu Kota.
Tengoklah rambutnya. Udah kayak pelangi. Belum lagi wajahnya, lebih meriah dari bianglala. Di lingkar matanya ada warna hijau dan biru, seperti kena tonjok. Pipinya pun merah, bibirnya apalagi.
Berapalah biayanya bersolek. Kalau terus samaku, untuk beli parfumnya saja, tak sanggup aku. Trus, aduuuh... gaya bahasanya sudah seperti yang di tipi-tipi itu.
Aku jadi bingung. Kalau nanti jadilah ke rumahku, apa yang harus kuhidangkan. Omakku cuma bikin bolu dan kembang goyang. Bibir orang kota tentu sudah tak bisa makan makanan tradisional.
Kayak diiklan-iklan itu. Makanannya pasti McD, KFC, hot-dog. Kalau aku paling banter makan jagal. Tapi aku tahu kali, ia emang gak suka jagal.
Dulu, katanya kasihan kali lihat peliharaannya kalau dijagal. Pernah, sampai nangis dia karena anjingnya hilang. Hampir seminggu tak bisa makan. Apalagi kalau cerita makan jagal, ia muntah-muntah.
Dan entah apa doanya, sepekan menghilang, peliharaannya kembali. Setelah bertemu, dipelukinya dengan tangis dan dimandikannya.
Waktu itu, aku tertawa keras. Aku saja yang pacarnya tak pernah dipeluk seperti itu. Ini... ah, biang dipelukin. Kok gak aku aja sih.
Sekarang, aku pun masih ingin dipeluknya. Jika ia mau tapi yang bikin aku bingung, apalah yang kuhidangkan pada tamuku yang datang dari kota itu.
Kuminta pada omakku untuk menyiapkan makanan, tapi jangan sampai memotong ayam. Tak akan disentuhnya itu. Benar saja, ketika sampai di rumah, setelah basa-basi, ia hendak pamit.
Alasannya, tak enak dengan omakku, yang pandangannya sudah tak bersahabat. Hidangan yang dijajarkan di meja pun tak disentuhnya kecuali air putih.
Pantaslah makin cantik aja dia karena konsumsinya cuma air putih. Pantas, cepat kaya karena berapalah harga air putih. (f)