Marco membandingkan dirinya dengan matahari yang hampir terbenam. Warnanya jingga, indah... tapi sebentar lagi berganti gelap. Hitam.
Sepanjang 2019, kekelaman yang ada. Banyak peristiwa membuat lara bahkan luka. Dari jumlah keluarga, ada yang gugar. Seperti daun, terhempas ditiup angin.
Marco sempat membenci bahkan dendam. Kenapa angin menggugurkan adiknya. Biasanya, yang tercampak itu adalah daun yang lebih tua, tapi kenapa adiknya yang lebih muda yang dihempas untuk menghadapNya.
Yang membuatnya sedih, Marco pernah bermimpi untuk hidup terus bersama adiknya. Adik tunggalnya itu adalah satu-satunya keluarga kandungnya yang masih ada di bumi. Tapi...
Tak tahu apa penyebabnya. Marco dikabari bahwa adiknya sakit. Sakit? Ah, mungkin kena hujan. Tetapi ketika bertemu dengan adiknya yang terbaring lemah, Marco jadi takut.
Jangan-jangan... Ia teringat pada papanya. Dulu sakitnya biasa-biasa saja. Sulit berjalan tapi divonis dokter stroke. Hanya berapa lama, langsung menghadapNya.
Saat itu, luka teramat dalam. Meski ada mamanya menghibur, tapi Marco merasa ada yang patah dan tak mungkin kembali. Meski pahit, pelan-pelan ia mencoba menerima.
Saat sudah hampir melupakan kepedihan, mamanya sakit. Sakit apalagi? Ketakutannya datang lagi karena mengenang papanya yang sakit dan menghadapNya secepat itu.
Benar juga. Tak berapa lama sakit, mama menghadapNya. Hidup Marco benar-benar seperti terhenti. Terbayang betapa gelapnya hidup tanpa orangtua.
Ada orangtua saja belum tentu berhasil. Apalagi, tak ada. Yang tinggal hanya neneknya. Duhai, apalah kemampuan seorang nenek.
Selain tua juga sudah lemah. Nenek selama ini juga sakit-sakitan. Bersama adiknya, Marco sudah menyiapkan hati andaikata harus ditinggalkan nenek.
Ya Allah Tuhan... feeling Marco benar. Setelah papa, mama, kini nenek juga menghadapNya. Sekejam itukah Sang Pencipta, yang serta merta mengambil hakNya tanpa memerhatikan kekhawatiran dan ketakutan.
Marco berontak. Menganggap diperlakukan tak adil. Ia mengadukan rasanya ke makam nenek, papa dan mama. Dalam doanya, ia berharap Sang Khalik menempatkan arwah orang-orang tercintanya diterima di sisiNya.
Doa-doa itu menumbuhkan kesadarannya bahwa alam semesta dan isinya adalah milikNya. Protes padaNya pun berangsur susut dan berganti dengan kepasrahan.
Marco kini mulai membangun asa. Pada adiknya, semua cita-cita dan tujuan hidup didiskusikannya.
"Kau harus kuat, Bang!" adik Marco menasihati. Soalnya, si adik selalu melihat abangnya kelelahan karena sepulang kuliah, langsung kerja sebagai pengemudi ojek online. "Kalau hujan, pakai mantel. Atau berhentilah."
"Tapi kita harus sukses di studi. lho," ingat Marco tentang komitmen berdua harus sukses menyelesaikan pendidikan. Selain itu, tamat sekolah adalah kebanggaan seperti yang diajarkan orangtuanya.
Marco berat sekali ingin meninggalkan adiknya. Tetapi, karena harus kuliah dan kerja, ia menekan segala rasa yang bergemuruh di hatinya.
Setelah mengecup kening adiknya, sepanjang nafasnya ia berdoa. Meminta padaNya agar adiknya terus dilindungi dan diberi kekuatan.
Tetapi, semua adalah hakNya. Adik yang menjadi kebanggaan dan tumpuan harapan, dipanggilNya. Di pangkuannya, adiknya mengembuskan napas terakhir.
Marco menangis sejadinya. Dulu, ketika papa dan mama serta nenek dipanggilnya, ia menduga itulah puncak kesedihan dalam hidupnya. Kini, ketika adiknya mendahuluinya, hatinya semakin tersiksa.
Menurutnya, sia-sia protes. Sia-sia segalanya. Jikapun nanti selesai kuliah, siapa yang mendampingi saat wisuda. Padahal, Marco sudah menyusun agenda: ke podium didampingi adiknya. Mengganti posisi papa, mama dan nenek.
Sejak saat itu, Marco tak lagi aktif ke kampus. Di tangannya Alkitab tapi tak dibacanya. Bayang orang-orang yang dicintainya terus melintas tanpa henti.
Ketika pekan Advent pertama, saat terbangun sebelum Saat Teduh, ia seperti bertemu dengan orang-orang tercinta yang telah di rumahNya. Orang-orang itu minta agar Marco terus berjuang.
Marco terkesiap. Sejak saat itu, ia langsung kembali giat. Sejak pagi hingga malam waktunya diisi dengan doa dan keoptimisan. Menurutnya, tak ada satu individu pun yang tahu kapan kebahagiaan akan datang. Jika kebahagiaan datang, jangan lupa berbagi.
Marco pun kembali ke aktivitas seperti orang-orang tercintanya masih ada. Ke gereja, menunaikan perpuluhan dan terus berderma.
Berdoa di makan keluarnya.
Ketika melihat rekan bersedih, ia mencontohkan dirinya sebagai sosok yang tegar. "Kamu bersyukur lahir dan dibesarkan dari keluarga yang banyak materi. Tetapi saya lebih beruntung karena lahir dan dibesarkan dengan keluarga yang memberikan saya tulang, dan hati yang kuat, untuk berusaha sendiri," ucapnya menasihati rekannya.
Pegangan itu menjadikan Marco mampu meninggalkan luka. (q)