Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 03 Juli 2025
Fokus

Belajar dari Singapura

- Minggu, 08 Desember 2019 11:52 WIB
360 view
Belajar dari Singapura
republika.co.id
Ilustrasi Merlion Singapura
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) secara resmi merilis pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018. Rangking Indonesia jeblok di urutan ke-72 di antara 77 negara. Nilai indikator kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan atau sains siswa turun.

Jika dilihat perbandingan skor PISA Indonesia untuk periode 2015 dan 2018, penurunannya menyolok. Skor kemampuan membaca turun dari 397 poin ke 371 poin. Kemudian kemampuan matematika turun dari 386 poin ke 379 poin. Lalu kemampuan sains turun dari 403 poin ke 396 poin.

Akibat dari raihan itu, ranking PISA Indonesia rendah di papan bawah. Tentu ini tamparan keras bagi Indonesia. Namun bukan momen untuk saling menyalahkan atau mencari kambing hitam.

Ketua Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli mengimbau negeri ini belajar dari Singapura. Menteri Pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) harus berani mengubah sistem pendidikan dengan mengedepankan keahlian. Negara tetangga tersebut berhasil mengelola pendidikan dengan menempati posisi puncak PISA 2015.

Kunci utama keberhasilan Singapura terletak pada sistem pendidikan yang meritokrasi atau pendidikan berbasis pada keahlian atau prestasi, kurikulum, anggaran pendidikan, kualitas guru, dan desentralisasi pendidikan. Sistem pendidikan meritokrasi ini dapat mengidentifikasi kompetensi anak secara lebih baik. Anak diberikan kesempatan berkembang berdasarkan bakat yang dimilikinya.
Singapura saat ini menerapkan kurikulum berbeda untuk berbagai jenjang. Untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) hanya memastikan siswa menguasai Bahasa Inggris, bahasa ibu, dan Matematika. Beda dengan Indonesia yang beban belajar sangat berat bagi siswa dari jumlah mata pelajaran.

Negeri Singa memilih orang-orang terbaik untuk diberikan beasiswa guru. Setelah jadi guru, mereka harus mengikuti pengembangan karir selama 100 jam setiap tahunnya. Kesempatan meraih beasiswa dalam dan luar negeri pun diberikan secara terbuka.
Kepala sekolah juga diberikan kewenangan untuk mengelola sekolah, asalkan mengacu pada aturan yang diterapkan pemerintah. Sekolah dapat leluasa menyesuaikan dan berinovasi. Di Indonesia semua serba seragam dan miskin kreativitas.

Hasil PISA ini harus menjadi bahan refleksi untuk perbaikan. Apa penyebab rendahnya skor tersebut dan kekurangan yang dialami siswa mesti diungkap. Indonesia butuh perubahan besar. Perlu gerakan yang masif untuk perubahan ke arah yang lebih baik. (**)

SHARE:
komentar
beritaTerbaru