Minggu, 22 Desember 2024

Jalan-jalan ke Kota Wisata Bukittinggi

Laporan: Herry Suranta Surbakti
- Minggu, 27 April 2014 21:26 WIB
1.940 view
Jalan-jalan ke Kota Wisata Bukittinggi
SIB/ Herry Suranta Surbakti
BUKITTINGGI : Suasana ramai di sore hari seputaran Jam Gadang Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat, awal April kemarin. Jam Gadang merupakan peninggalan sejarah yang menjadi simbol Kota Siwata Bukittinggi.
Sore itu waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, di lokasi menara Jam Gadang di Kota Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat. Udara sejuk, cuaca cerah dengan matahari yang bersinar ramah. Menyenangkan. Di taman yang mengelilingi jam peninggalan sejarah itu, orang-orang ramai duduk menikmati sore. 

Sekumpulan pria berseragam badut tampak berkeliling sambil menggodai anak-anak, kadang menawarkan diri untuk foto bersama.

Bukittinggi merupakan kota wisata andalan Provinsi Sumatera Barat, dapat dicapai sekitar lima jam perjalanan dari Pekanbaru (Provinsi Riau) atau dua jam dari Padang (ibukota Provinsi Sumbar). 

Indah, sejuk dan tenang.  Itulah yang terlihat dan terasa selama dua hari jalan-jalan di kota itu, awal April kemarin.  Meski jalanan di kota Bukittinggi tidak bisa dikatakan sepi, tapi suasana nyaman terasa sekali.  Pohon-pohon rindang di sepanjang jalan di kawasan pusat kota begitu asri.  Tak ada kemacetan atau bising kendaraan.  Penduduknya ramah,  jalannya juga mulus, terbilang susah menemukan jalan berlubang.

Pusat kotanya termasuk kecil sehingga dapat dikelilingi dengan berjalan kaki, meski ada pilihan lain seperti naik sado atau Angkot (yang armadanya tidak begitu banyak).

Terdapat banyak obyek wisata di Bukittinggi dan hampir semuanya jaraknya berdekatan, antara lain panorama Ngarai Sianok, taman margasatwa & budaya Kinantan, Istana Bung Hatta (Wakil Presiden pertama RI lahir di sini), benteng Fort de Kock, Lubang Jepang (sebuah terowongan bawah tanah sepanjang 1,4 kilometer yang dibuat pada masa penjajahan Jepang, terdiri dari beragam ruang, termasuk barak militer Jepang, ruang amunisi, pintu pelarian, ruang sidang, ruang makan, penjara, pintu penyergapan), rumah kelahiran Bung Hatta, Pustaka Bung Hatta, Museum Tridaya Eka Dharma dan tentu saja simbol kota bernama Jam Gadang yang disebut di awal tadi.

Di Jalan Sudirman Bukittinggi berdiri Gereja Katolik yang -- sebagaimana tercantum dalam plang di halaman gereja -- termasuk benda cagar budaya di bawah pengelolaan Dinas Pariwisata setempat.  Gereja HKBP berdiri di Jalan Nawawi. 

Meski tenang dan sejuk, Bukittinggi terbilang ramai, terutama di pusat kota.  Terdapat beragam restoran dan coffeshop di kawasan seputaran Jam Gadang, dan puluhan tempat makan khas Sumatera Barat.  Tak heran, banyak wisatawan yang jalan-jalan ke Bukittinggi sekalian untuk menikmati beragam jenis makanan khas setempat, yang populer disebut dengan wisata kuliner.

Seluruh obyek wisata tersebut dikelola dengan baik.  Kebersihannya, misalnya, begitu terjaga.  Petugas wisata juga ada. Terasa sekali upaya optimal pemerintah setempat menjual potensi wisatanya.

"Yang bikin kita senang dan betah di sini suasana tenangnya.  Kalau sore kita bisa jalan-jalan ke Jam Gadang, duduk-duduk santai menikmati hari," kata seorang wisatawan, Dermawan, warga asal Langkat Sumatera Utara yang sudah belasan tahun tinggal di Pekanbaru. 

 Menurut buku kepariwisataan dari Dinas Pariwisata Bukittinggi yang diperoleh SIB, Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh Jazid, seorang arsitek kota, bersama St Gigi Ameh.  Ketika itu Sekretaris Kota Bukittinggi dijabat Mr Rook Maker yang mendapat hadiah jam berukuran besar dari Ratu Belanda.  Rook Maker lalu meminta arsitek kota membuat sebuah bangunan (monumen) sebagai tempat jam.  Peletakan batu pertama dilakukan anak sang Sekretaris Kota yang waktu itu berumur 6 tahun.  

"Pada waktu pertama kali berdiri atapnya dibuat seperti kubah yang pada bagian atasnya diletakkan sebuah patung ayam, yang melukiskan Anak Nagari yang belum mengerti melihat jam.  Karena pada waktu itu untuk menandakan hari sudah pagi adalah bunyi kokok ayam.  Pada zaman penjajahan Jepang atapnya mengalami perubahan yakni berbentuk kelenteng.  Kemudian pada zaman kemerdekaan atapnya diganti seperti tanduk kerbau yang melambangkan adat Minangkabau di Sumatera Barat."

Sampai di sini, sepertinya tak ada yang kurang dengan pariwisata Bukittinggi.  Ungkapan "sekali datang, pasti mau datang lagi" mungkin pas untuk menggambarkannya. (c)


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru