Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 22 Juni 2025

Pencemaran Udara Terkait Langsung Pemanasan Global, Perubahan Iklim dan Penyakit

* Oleh : DR Eng. Esrom Hamonangan Panjaitan
- Jumat, 12 Februari 2016 15:00 WIB
4.379 view
Di Kota Jakarta pencemaran udara sudah amat buruk. Menghirup udara bersih dan sehat adalah hak azasi setiap orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat untuk mencegah terjadinya  pencemaran udara.

Orang kaya, miskin, gelandangan, bahkan pejabat Negara tidak ada yang luput dari menghirup udara yang artinya udara bersih dan udara tercemar akan dihirup, sebab  kalau tidak menghirup udara berarti makhluk hidup sudah mati.

Tidak ada jaminan bahwa naik mobil ber AC, diam di ruangan ber AC, bertempat tinggal di apartemen mewah dan bahkan di daerah puncak gunung yang tinggi,  tidak akan luput dari pencemaran udara. Pencemaran udara saat ini bukan lagi hanya masalah lokal (kawasan yang hanya dekat dengan sumber pencemar) tetapi telah mencakup regional (antar pulau atau kawasan) dan bahkan global (antar negara) termasuk dapat menyebabkan perubahan iklim global.
Kecepatan dan arah angin telah membawa polutan bermigrasi dari satu tempat ke tempat lainnya. Polutan udara yang diemisikan ke atmosfer ada yang disebut polutan primer (primary polutan) yaitu polutan yang hanya menyebabkan dampak lokal misalnya Total Suspended Particulate (TSP), Pb (timbal), Hg (merkury), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO) yang menyebabkan penyakit Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Penyakit ginjal misalnya akibat dampak pencemaran Pb, darah tinggi juga dampak pencemaran Pb dan bahkan diduga menjadi pemicu autis. Polutan primer yang diemisikan dari sumber emisi akan menjadi polutan sekunder akibat proses fisik dan kimiawi di atmosfer dan bertransportasi melewati batas area, wilayah bahkan batas negara (trans boundary polutan).

Polutan sekunder (secondary polutan) yang terbentuk dari polutan primer tadi adalah polutan gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), dinitrogen oksida (N2O), oksida nitrogen (NOx) dan ozone (O3) yang dapat menyebabkan dampak pada terjadinya pemanasan global (global warming), yaitu polutan gas-gas rumah kaca akan menahan pantulan ke atmosfer panas sinar UV yang dipancarkan ke bumi, sehingga bumi mengalami penambahan temperatur yang mengakibatkan pemanasan, dan akibat pemanasan akan terjadi penguapan yang tinggi dari air di bumi misalnya air laut, danau, situ dan lain lain dan pada suatu daerah akan menurunkan hujan dengan curah yang cukup tinggi dan menimbulkan banjir.

Selain dampak peningkatan curah hujan akibat penguapan yang tinggi, pemanasan bumi juga menyebabkan heat island (suhu udara kota meningkat) yaitu meningkatnya suhu/temperatur udara di perkotaan dan bahkan di pedesaan, dampak perubahan iklim (climate change) yaitu keberadaan polutan-polutan akan mengganggu keseimbangan alam (curah hujan tidak normal, adanya angin puting beliung, banjir, longsor ) dan ini yang disebut dengan anomali iklim yang tidak bisa diduga.

Semua fenomena tersebut di atas seharusnya dapat diatasi sedini mungkin apabila sistem pemantauan yang sudah ada  dapat berfungsi dengan baik, termasuk sistem informasi ISPU, sehingga judul tulisan ini harus dijawab apakah benar ISPU bisa antisipasi perubahan iklim global tersebut. Jawabannya bisa. Tetapi untuk menjawab itu kita harus mengerti dulu apa yang dimaksud dengan ISPU.

Penulis yakin bahwa banyak masyarakat kita baik tingkat pendidikan rendah, sedang, dan bahkan pendidikan tinggi, serta punya kedudukan di pemerintahan maupun di swasta yang belum mengerti tentang fungsi dan kegunaan dari ISPU, atau memang mereka tidak mau mengerti.

ISPU atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Pollution Standard Indeks (PSI) didapatkan dari hasil pengukuran kualitas udara ambien dengan menggunakan peralatan yang disebut AQMS (Air Quality Monitoring System) atau sistem pemantau kualitas udara otomatis. Sistem pemantau ini dilengkapi dengan peralatan yang mampu mengukur konsentrasi polutan Zat (partikel) seperti PM-10, gas beracun atau polutan primer yang ada diudara yang kita hirup seperti SO2, NOx, CO, Ozone dan mengukur kondisi meteorologi seperti : Temperatur (T), Relative Humidity (RH), global radiasi, arah dan kecepatan angin.

Di negara-negara dan kota-kota Asia, Indonesia termasuk salah satu negara yang selangkah lebih maju karena memiliki AQMS dengan sistemnya yang sudah sempurna. Sistem pemantau ini terintegrasi dan terakses secara online pada 10 (sepuluh) kota yaitu di Medan, Pekanbaru, Jambi,  Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar,  Pontianak dan Palangkaraya. Sehingga tingkat kualitas udara di Indonesia dapat diketahui dan data yang dihasilkan dapat menjadi deteksi awal akan terjadinya dampak seperti dijelaskan di atas sehingga sangat berguna sekali untuk menyusun strategi pengelolaan untuk tidak terjadi dampak seperti di atas. 

Jika ISPU didisplay menunjukkan tingkat berbahaya, berarti kadar nilai tingkat kualitas udara sudah tinggi, jika nilai tinggi maka kadar polutan di udara tinggi  dan potensi terjadinya dampak pemanasan global (global warming), heat island dan anomali iklim makin nyata kelihatan.

Selain menjadi deteksi dini akan bahaya/dampak yang akan terjadi, ISPU berhubungan juga dengan kesehatan, salah satu dampaknya yaitu menjadikan informasi untuk kita apakah boleh tidaknya masyarakat melakukan aktivitas olahraga seperti jogging, lari-lari keliling taman rumah, perjalanan menuju kantor dan lain- lain. Coba kita bayangkan apabila seseorang yang sakit asma ingin melakukan olahraga ringan dengan jalan kaki pagi di kotanya, sedangkan dia tidak mengetahui kondisi kualitas udaranya apakah baik, sedang atau berbahaya? Dan misalnya kondisi udaranya berbahaya. Dapat kita bayangkan apa yang akan terjadi Pasti si seseorang tadi akan mengalami masalah pernafasan dan bahkan mungkin kematian. Sehingga mereka harus mengetahui informasi ISPU, supaya tidak terjadi dampak kesehatan yang fatal.

Kalau mereka tidak mengetahuinya bisa jadi yang sakit asma yang akan melakukan jogging akan mengalami sakit yang lebih parah dan bahkan kematian. Demikian halnya orang sehat yang tiap hari menempuh perjalanan ke kantor akan mengalami sakit. Saat ini telah banyak dampak yang terjadi dan telah dirasakan oleh manusia, bencana banjir yang terjadi ada kemungkinan akibat curah hujan yang tidak normal akibat penguapan air bumi berlebihan yang tadi disebabkan oleh pemanasan global, anomali iklim, dan heat island.

Kekeringan akan menyebabkan kebakaran hutan, dan yang paling banyak terjadi saat ini penyakit daerah tropis seperti demam berdarah (akibat dari migrasi nyamuk aedes agepty), dan nyamuk malaria dari suatu daerah ke daerah lain yang tidak pernah mengalami endemic penyakit malaria tersebut, penyakit ISPA dan bahkan diduga sebagai pemicu terjadinya autis, dan pencemaran udara diduga menjadi penyebab terjadinya.

Setelah kita ketahui bahwa ada keterkaitan langsung dan tidak langsung dari adanya pencemaran udara terhadap pemanasan global, perubahan iklim dan penyakit, maka perlu kita lakukan deteksi dini untuk mencegah dan mengendalikannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan melaksanakan pemantauan/pengukuran tingkat pencemaran yang telah terjadi. Yang bisa menjamin aman tidaknya udara yang kita hirup dan akan terjadi tidaknya dampak seperti di atas maka sistem AQMS adalah peralatannya. Pemantauan kualitas udara ambien merupakan kegiatan yang penting dan harus dilakukan karena dapat mengetahui tingkat pencemaran udara yang telah terjadi di suatu daerah.

Dengan diketahuinya tingkat pencemaran udara maka pemerintah akan dapat menentukan arah dan kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas udara dan mengambil tindakan yang tepat, sehingga dapat dicegah terjadinya pemanasan global, perubahan cuaca, penyakit dan bahkan kerusakan lingkungan. Secara detail keterkaitan polutan umumnya yaitu termasuk konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca di bumi, karena konsentrasi gas-gas rumah kaca yang tidak seimbang di atmosfer mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. 

(Penulis adalah peneliti kualitas udara, Kepala-Bidang Program Evaluasi dan Diseminasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan Puslitbang KLL -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang  Selatan, Banten/f)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru