Jumat, 20 September 2024

Ancaman BPA itu Nyata, Industri Wajib Patuhi Peraturan BPOM Label Bahaya BPA

Donna Hutagalung - Selasa, 10 September 2024 11:08 WIB
325 view
Ancaman BPA itu Nyata, Industri Wajib Patuhi Peraturan BPOM Label Bahaya BPA
(Foto: SNN/Dok)
Seminar bertema "BPA Free: Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sehat", di Jakarta Selatan, Rabu (5/9).
Jakarta (harianSIB.com)

Paparan senyawa kimia Bisfenol A (BPA) dari bahan kemasan pangan, seperti botol dan peralatan makan bayi, galon air minum, serta makanan kaleng, menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi masyarakat. Oleh karena itu, semua pihak, terutama para pelaku usaha, diharapkan mendukung regulasi pelabelan BPA yang saat ini telah diberlakukan secara khusus pada galon isi ulang berbahan plastik polikarbonat, yang umumnya digunakan untuk galon air minum bermerek.

"Polemik mengenai risiko BPA dan pelabelannya seharusnya tidak perlu dilanjutkan lagi. Pemerintah sudah membuat kebijakan penting dengan mencantumkan label peringatan risiko BPA pada kemasan pangan," ujar dr. Dien Kurtanty, pendiri MedicarePro Asia, dalam seminar bertema "BPA Free: Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sehat" yang berlangsung di Jakarta Selatan, Rabu (5/9), sebagaimana pres rilis yang diterima harianSIB.com, Selasa (10/9/2024).

Pada 5 April 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan aturan yang mewajibkan produsen air minum yang menggunakan kemasan polikarbonat, plastik keras dengan kode daur ulang "7", untuk menempelkan label peringatan berbunyi: "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA ke dalam air minum."

Baca Juga:

BPA yang sering digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi, bisa bermigrasi dari kemasan ke produk pangan, yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat.

Menurut dr. Dien, pelabelan ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat memperhatikan perlindungan konsumen.

Baca Juga:

"Penelitian toksikologi di berbagai negara mengindikasikan bahwa BPA bisa menimbulkan risiko bagi perkembangan dan kesehatan tubuh, serta dapat memicu berbagai penyakit jika terjadi paparan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, para pelaku usaha, peneliti, dan ahli diharapkan memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada konsumen terkait risiko BPA," tambahnya.

Dalam seminar yang sama, Ketua Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Bali, dr. Oka Negara, mengapresiasi langkah BPOM dalam menerapkan regulasi pelabelan BPA sebagai upaya penting untuk melindungi kesehatan masyarakat.

"Konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai produk yang dijual, terutama yang telah memperoleh izin edar dari BPOM. Pelabelan ini memungkinkan konsumen untuk lebih mengenali dan mewaspadai risiko BPA terhadap kesehatan," ujar dr. Oka.

Paparan BPA, menurut dr. Oka, dapat mengganggu keseimbangan hormon dalam tubuh, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, seperti risiko pubertas dini dan gangguan menstruasi pada perempuan.

"BPA memiliki efek kumulatif, bukan dampak langsung dalam jangka pendek. Namun, paparan terus menerus bisa menyebabkan risiko kesehatan yang serius. Oleh karena itu, kemasan pangan bebas BPA harus menjadi prioritas jika kita ingin menuju masyarakat yang lebih sehat," tegasnya.


Industri Harus Mematuhi Aturan

Pada kesempatan yang sama, Yeni Restiani dari Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM menjelaskan bahwa kebijakan pelabelan BPA saat ini diberlakukan khusus untuk galon isi ulang bermerek yang menggunakan plastik polikarbonat.

"Sejak 5 April 2024, semua produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di Indonesia wajib mematuhi aturan dalam Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024," ujarnya, merujuk pada regulasi Label Pangan Olahan.

Yeni menambahkan, pemerintah juga mendorong produsen air minum bermerek untuk memberikan informasi yang valid kepada konsumen mengenai risiko BPA.

Paparan senyawa kimia Bisfenol A (BPA) yang bersumber bahan kemasan pangan, semisal pada botol dan peralatan makan bayi, galon air minum dan makanan kaleng, menghadirkan risiko kesehatan yang tak terbantahkan pada kesehatan masyarakat. Karena itu, semua pihak, utamanya pelaku usaha, perlu mendukung pelaksanaan regulasi pelabelan BPA yang saat ini telah khusus diberlakukan pada galon isi ulang berbahan plastik polikarbonat, jenis plastik keras pada umumnya galon air minum bermerek.

"Saya kira polemik seputar risiko BPA dan pelabelannya tak perlu lagi diteruskan. Ini karena pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terobosan berupa pencantuman label peringatan risiko BPA pada kemasan pangan," kata pendiri MedicarePro Asia, sebuah lembaga riset dan promosi kesehatan di Jakarta, dr. Dien Kurtanty, dalam seminar bertajuk "BPA Free: Perilaku Sehat, Reproduksi Sehat, Keluarga Sehat" di Jakarta Selatan, Rabu (5/9).


Pada 5 April 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengesahkan peraturan yang mewajibkan produsen air minum yang menggunakan kemasan polikarbonat, jenis plastik keras dengan kode daur ulang "7", menerakan label peringatan berbunyi: "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan".


Kerap digunakan sebagai bahan baku produksi plastik polikarbonat dan zat kimia resin epoksi, BPA dapat berpindah (bermigrasi) dari kemasan ke produk pangan dan terkonsumsi oleh masyarakat.

Menurut dr. Dien, poin penting dari pelabelan tersebut adalah pemerintah menaruh perhatian serius pada perlindungan konsumen.

"Uji toksikologi di berbagai negara menunjukkan BPA membawa risiko tersendiri terhadap perkembangan dan kesehatan tubuh, bisa memicu berbagai penyakit jika terpapar secara akumulatif selama bertahun-tahun sehingga para pelaku usaha, kalangan ahli dan peneliti diharapkan untuk memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada konsumen terkait risiko BPA," kata dr. Dien.


Dalam seminar yang sama, Ketua Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Provinsi Bali, dr. Oka Negara, menilai regulasi BPOM tentang pelabelan BPA sebagai langkah terobosan dalam perlindungan kesehatan masyarakat.


"Konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang jelas atas produk yang dijual di pasaran, utamanya pada yang telah mengantongi izin edar BPOM. Dengan adanya pelabelan, konsumen bisa mengenal dan mewaspadai risiko paparan BPA pada kesehatan," kata dr. Oka.


Paparan BPA, menurut dr. Oka, bisa memicu gangguan keseimbangan hormon dalam tubuh, terutama berkaitan dengan kesehatan reproduksi termasuk risiko pubertas dini dan gangguan menstruasi pada perempuan.


"BPA itu risikonya akumulatif, tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi jika terpapar/migrasi di tubuh secara terus menerus. Oleh karena itu, jika ingin menuju negara sehat, maka kemasan pangan yang bebas BPA (BPA Free) harus menjadi prioritas," tandas dr. Oka.

Industri Wajib Taat

Dalam kesempatan yang sama, Direktorat Standardisasi Pangan Olahan BPOM, Yeni Restiani, menjelaskan kebijakan pelabelan BPA saat ini hanya khusus berlaku pada galon isi ulang bermerek yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat.


"Sejak 5 April 2024, semua Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di Indonesia wajib mengikuti ketentuan dalam Peraturan BPOM No. 6 Tahun 2024," katanya merujuk pada regulasi Label Pangan Olahan.

Dia menegaskan, pemerintah mendorong produsen air minum bermerek untuk ikut berkontribusi dalam mencerdaskan konsumen dengan penyedian informasi yang valid terkait risiko BPA. (*)

Editor
: Donna Hutagalung
SHARE:
komentar
beritaTerbaru