Jakarta (SIB)
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri tahun 2003 hingga akhir Desember 2019, MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. Dari jumlah itu, perkara pengujian undang-undang (PUU) mendominasi tercatat sebanyak 1.317 perkara. Diikuti perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHPUD); Pemilihan Umum (PHPU) DPR, DPD, dan DPRD sebanyak 671 perkara; dan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 5 perkara. Dan, SKLN sebanyak 26 perkara.
Dari 3.005 perkara, sebanyak 2.849 telah diputus yakni sebanyak 397 perkara atau 13,93 persen dikabulkan; 1.005 perkara atau 45,81 persen ditolak; 1.004 perkara atau 34 persen tidak dapat diterima; 60 perkara atau 2,11 persen dinyatakan gugur; 171 perkara atau 5,75 persen ditarik kembali; 25 perkara atau 2 persen tindak lanjut dari putusan sela; dan 11 perkara atau 1 persen MK menyatakan tidak berwenang mengadili. Sisanya, sebanyak 30 perkara, hingga kini masih dalam proses pemeriksaan.
Nah, dari jumlah perkara PUU yang telah dikabulkan itu, ada sebagian putusan MK yang tidak dipatuhi, khususnya oleh pemerintah. Artinya, pemerintah tidak atau belum menindaklanjuti perubahan UU atau pasal atau ayat yang telah dibatalkan atau ditafsirkan MK. Tingkat ketidakpatuhan putusan MK itu berdasarkan hasil penelitian tiga dosen Universitas Trisaksi yang disampaikan Ketua MK Anwar Usman dalam Penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019 di Gedung MK Jakarta, Selasa (28/1) lalu.
Anwar mengungkap temuan menarik hasil penelitian tiga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada 2019 berjudul “Constitutional Compliance Atas Putusan Pengujian Undang-Undang di MK Oleh Adressat Putusanâ€. Penelitian ini mencari kebenaran ilmiah tingkat kepatuhan terhadap 109 putusan MK kurun waktu 2013-2018.
Mengutip hasil penelitian itu, Anwar menyebut ada tiga kategori tingkat kepatuhan terhadap putusan MK yakni dipatuhi seluruhnya, dipatuhi sebagian, dan tidak dipatuhi. Hasil temuannya: dipatuhi seluruhnya sebanyak 59 putusan (54,12 persen); dipatuhi sebagian sebanyak 6 perkara (5,50 persen); tidak dipatuhi sebanyak 24 perkara (22,01 persen). Sisanya 20 putusan (18,34 persen) belum dapat diidentifikasi secara jelas dengan berbagai alasan.
“Tingkat kepatuhan masih lebih tinggi daripada ketidakpatuhan dengan perbandingan 54,12 persen berbanding 22,01 persen,†kata Anwan Usman dalam acara yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Ketua DPR Puan Maharani sebagai pembentuk UU, Ketua MA M. Hatta Ali, dan pejabat negara lainnya.
Menurutnya, kepatuhan putusan mencerminkan kedewasaan dan kematangan kita sebagai negara hukum demokratis, sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum. Baginya, hasil penelitian yang menemukan ketidakpatuhan terhadap putusan MK sebesar 22,01 persen dari 109 putusan MK jelas mengundang tanda tanya besar. “Temuan itu bukan saja penting bagi MK, tetapi juga patut menjadi perhatian bersama,†kata Anwar.
Anwar Usman menilai ketidakpatuhan terhadap putusan MK, selain bertentangan dengan doktrin negara hukum, juga bentuk pembangkangan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi dalam bernegara. Sebab, konstitusi tidak akan berarti apa-apa, manakala tidak ditegakkan dan ditaati pemangku kepentingan.
“Jika itu faktanya (ketidakpatuhan putusan MK, red), negara hukum yang kita cita-citakan masih menjumpai tantangan berat. Sejarah di berbagai belahan dunia, sejak zaman dahulu membuktikan, manakalah konstitusi tidak diindahkan, maka awal runtuhnya sebuah bangsa,†tegasnya.
Usai acara penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019, Hakim Konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih menilai persoalan ketidakpatuhan putusan MK banyak aspek yang mempengaruhi. Seperti, tingkat kesadaran hukum, pendidikan hukum, prosesnya, sehingga belum ditindaklanjuti dalam revisi UU. Dalam sebuah UU, ada ayat atau pasal atau penjelasannya yang bertentangan dengan UUD 1945 belum diubah pembentuk UU.
“Jadi, memang hanya belum ditindaklanjuti, contohnya UU Koperasi belum ditindaklanjuti. Tetapi, membuat UU itu pekerjaan yang berat, sekalipun hanya pasal dan ayat saja diubah, itu sama saja dengan pengajuan (pembuatan, red) UU baru,†ujarnya.
Enny menerangkan, belum ditindaklanjutinya putusan MK oleh pembentuk UU karena faktor proses politik hukumnya membutuhkan waktu lama. Dia menceritakan saat dirinya menjadi Ketua BPHN merasakan sekali proses menyusun UU itu seperti apa. “Ada juga putusan MK yang cepat ditindaklanjut, seperti putusan MK terkait batas usia pernikahan, karena di sana ada keinginan politik agar semua proses perubahan aturan itu lebih cepat.â€
Sebelumnya beberapa tahun lalu, lembaga kajian SETARA Institute merilis hasil riset atas putusan-putusan MK dalam rentang waktu 19 Agustus 2015 hingga 15 Agustus 2016 pada 18 Agustus 2016 lalu. Total sebanyak 124 putusan MK atas 137 undang-undang yang diteliti. Hasilnya, ada salah satu poin menarik yakni mengenai aspek kepatutan lembaga negara terhadap putusan-putusan MK.
Direktur Riset SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan tingkat disiplin para penyelenggara negara dalam mematuhi putusan MK masih rendah. Padahal, pembangkangan pada putusan MK merupakan bentuk pelembagaan ketidakadilan terhadap warga negara. Sebaliknya, ia melihat kepatuhan pada putusan MK menjadi kunci sukses penyelenggaraan negara yang berdasar hukum.
Temuan SETARA Institute, ada 19 Putusan MK periode 2015-2016 ini yang mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah atau DPR. Sebagian dari putusan tersebut memang telah ada yang dijalankan dan ditindaklanjuti, tetapi masih jauh dari harapan. Bukti ketidakpatuhan itu di antaranya, masih berlakunya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 100 Tahun 2004 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diamanatkan Pasal 59 ayat (8) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Padahal, MK melalui Putusan Nomor 7/PUU-XII/2014 telah mengabulkan tiga pasal, yakni Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003. Sejak diputus tanggal 4 November 2015, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan belum melakukan pencabutan Keputusan Menteri tersebut. Faktanya, Keputusan Menteri tersebut masih berlaku.
Bukti ketidakpatuhan lain, masih berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 133 Tahun 2015 tentang Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor. Padahal, MK lewat Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inkonstitusional. (hukumonline.com/d)