Washington (SIB)
Amerika Serikat (AS) menyatakan otoritas pemerintah Iran telah membunuh lebih dari 1.000 orang demonstran. Washington menyebut ini adalah peristiwa terburuk pemerintahan negeri para mullah itu. Pernyataan itu disampaikan oleh utusan khusus AS untuk Iran, Brian Hook, Kamis (5/12) waktu setempat.
"Nampaknya rezim telah membunuh lebih dari 1.000 warga Iran sejak protes dimulai," kata Brian kepada wartawan. Dia mengakui informasi ini memang sulit diverifikasi kebenarannya, namun yang pasti, kata dia, jumlah korban tewas dari pihak masyarakat sipil amat sangat banyak.
Dikatakannya, 7 ribu pengunjuk rasa ditahan oleh pemerintah Iran. Protes terhadap pemerintah di Iran berlangsung mulai 15 November lalu. Pemicunya adalah pemerintah Iran menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), buntut dari sanksi AS. "Ini adalah krisis politik terburuk dari rezim menjelang usianya yang ke-40 tahun," ujar Hook.
Hook menyampaikan AS telah menerima foto dan video dari 32 ribu orang dari Iran, yang melaporkan peristiwa demonstrasi. Jumlah korban tewas yang disebut AS ini jauh lebih banyak ketimbang taksiran Amnesty International. Lembaga itu menyebut korban tewas berjumlah 208.
Iran membantah bahwa jumlah korban tewas sebanyak itu dengan menyebut itu sebagai "bohong besar". Kata pemerintah Iran, korban tewas hanya lima orang, terdiri dari empat personel polisi dan satu warga sipil.
Sebelumnya Wakil Menteri Pertahanan AS John Rood mengatakan Washington mempertimbangkan untuk mengirim 5.000 hingga 7.000 tentara tambahan ke Timur Tengah untuk melawan Iran.
Rood saat berbicara di depan Kongres mengatakan kebijakan itu dibuat setelah melihat sepak terjang Iran yang dinilai kelewat batas. "Kami terus memantau ancaman itu dan memiliki kemampuan untuk secara dinamis menyamai postur pasukan kami," kata Rood kepada Komite Layanan Bersenjata Senat.
Pernyataan ini muncul setelah sebelumnya Pentagon membantah laporan oleh The Wall Street Journal yang menyebut Amerika Serikat mempertimbangkan mengirim lebih dari 14 ribu pasukan ke Timur Tengah. Menhan Esper juga menolak laporan tersebut.
Juru Bicara Pentagon Alyssa Farah menyebut bahwa Esper telah mengklarifikasi jumlah pasukan tambahan itu lewat panggilan telepon dengan Senator Jim Inhofe.
Ketegangan AS dan Iran bermula sejak Juli lalu, ketika Iran mengumumkan bahwa mereka melakukan pengayaan uranium melebihi batas yang ditentukan dalam perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Perjanjian yang digagas di era Barack Obama itu menetapkan Iran harus membatasi pengayaan uranium hingga 3,67 persen, jauh dari keperluan mengembangkan senjata nuklir yaitu 90 persen. Sebagai timbal balik, negara Barat akan mencabut serangkaian sanksi terhadap Teheran.
Namun, di bawah komando Presiden Donald Trump, AS menarik diri secara sepihak dari perjanjian nuklir itu pada Mei 2018 lalu dan kembali menerapkan sanksi atas Iran. Iran bertekad bakal terus melakukan pengayaan uranium jika negara-negara lain yang menandatangani perjanjian itu tak berbuat apa pun untuk melawan AS.
Sejak saat itu, tensi antara Iran dan AS terus meningkat dengan isu pengerahan militer hingga uji coba rudal Teheran. Belum reda permasalahan nuklir ini, muncul lagi perseteruan baru antara kedua negara ketika AS menuding Iran sebagai dalang di balik serangan drone di kilang minyak terbesar di Arab Saudi, sekutu terdekat Negeri Paman Sam. Riyadh kemudian meminta Washington mengirim pasukan tambahan untuk membantu pertahanan negara itu. (Detikcom/CNNI/q)