Sabtu, 21 September 2024

MK Tolak Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE Cegah Hukum Rimba

Redaksi - Kamis, 21 Juli 2022 09:20 WIB
489 view
MK Tolak Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik di UU ITE Cegah Hukum Rimba
Foto: detikcom
Ilustrasi.
Jakarta (SIB)
Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempertahankan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, menurut MK, pasal itu untuk mencegah hukum rimba.

"Salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap orang," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan bergantian oleh 9 hakim MK dalam sidang di gedung MK yang disiarkan live dari channel YouTube MK, Rabu (20/7).

Pertimbangan MK di atas adalah pertimbangan Putusan MK 50/PUU-VI/2008. Pertimbangan ini dikutip kembali karena permohonan yang diajukan lagi di 2022 oleh 21 content creator masih sama.

Menurut MK, rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis.

"Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya 'hukum rimba' dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang mengaturnya," kata MK.[br]

Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Geeta Anand (1997: A28), 'the growing public awareness of the internet is unwieldy and chaotic side has led to calls for regulation and governance' (meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya peraturan dan penataan). Di mana setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) secara leluasa boleh berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain tanpa disertai data dan informasi akurat, sebagaimana yang diungkapkan para saksi yang diajukan Pemerintah dalam persidangan. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab.

"Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, adalah tidak beralasan," ucap majelis.

Soal ketakutan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpotensi disalahgunakan, MK menilai sebaliknya. MK menyatakan potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hampir tanpa batas.

"Di sisi lain dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya," urai MK.

Oleh karena itu, semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat, kian tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi.

"UU ITE telah memberikan batasan sisi-sisi yang merupakan domain publik dan sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain," urai MK tegas.[br]

Ketakutan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan juga ditampik MK. Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia. Sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata.

"Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia mayalah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan," urai MK.

MK juga menolak argumen Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

"Tetapi dalam pelaksanaannya, kemerdekaan pers tidaklah sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, negara dibenarkan membatasi atau mengatur agar kebebasan pers tersebut tidak melanggar hak-hak asasi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945," beber MK. (detikcom/f)

Sumber
: KORAN SIB
SHARE:
komentar
beritaTerbaru