Bandung (SIB)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mendukung aspirasi sebagian masyarakat Indonesia yang ingin Calon Presiden (Capres) maju dari jalur perseorangan, bukan hanya dari partai.
“Kami para senator mendukung upaya Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti yang memperjuangkan Capres dari jalur perseorangan melalui amandemen konstitusi ke-5,†kata Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono kepada wartawan dalam rangkaian Press Gathering DPD RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen selama tiga hari (3-5 Des 21) di Bandung, Jawa Barat yang juga diikuti Jurnalis Koran SIB Jamida P Habeahan.
Hal senada juga diungkapkan dua Wakil Ketua DPD RI lainnya, yakni Sultan Bachtiar Najamudin dan Mahyudin.
Ketua DPD RI LaNyala Mahmud Mattaliti menegaskan, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertekad berjuang agar lembaga yang dilahirkan pasca reformasi ini peran dan posisinya diperkuat. Hal ini bisa dilakukan melalui amandemen kelima UUD 45.
Menurut LaNyala, tahun 1999 hingga 2002, terjadi amandemen konstitusi. Tujuannya agar Indonesia lebih demokratis, sekaligus mengkoreksi kelemahan beberapa pasal dalam naskah asli UUD 1945. Namun yang terjadi kemudian, sistem tata negara Indonesia berubah total.
MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi negara. Bahkan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus, digantikan Dewan Perwakilan Daerah.
Mandat rakyat kemudian diberikan kepada dua ruang politik yaitu Parlemen dan Presiden, dan masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme Pemilu.
DPD yang merupakan perubahan dan penyempurnaan wujud dari utusan daerah dan golongan justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang daulat rakyat yang didapat melalui Pemilu. Padahal DPD sama-sama “berkeringat†seperti partai politik.
Senator asal Jawa Timur itu membenarkan, sebelum amandemen konstitusi tahap 1 sampai 4, MPR yang terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan mendapat mandat rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga komponen dapat mengajukan atau mengusulkan Calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Namun, setelah amandemen 1 sampai 4, DPD tidak lagi mempunyai hak.
“Inilah kecelakaan hukum yang harus dibenahi. Hak DPD RI harus dikembalikan atau dipulihkan,†kata LaNyalla sambil menyebutkan, bahwa DPD RI adalah wakil dari daerah, wakil dari golongan- golongan dan entitas-entitas civil society yang non-partisan. Tetapi faktanya, tidak bisa terlibat dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa.
Sejak amandemen tahun 1999 hingga 2002, hanya partai politik yang bisa mengusung calon pemimpin bangsa lewat Fraksi di DPR RI. Selain itu, partai politik juga yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga.
Karena itulah, DPD RI ingin melakukan penguatan fungsi kelembagaan, mengingat Demokrasi de-sentralistik yang kita anut, adalah konsep partisipasi daerah, dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional.
Artinya peran DPD RI sangat strategis untuk mensinkronkan kepentingan daerah dengan kepentingan pusat.
LaNyalla menyatakan, langkah penguatan kelembagaan DPD RI dilakukan dengan dua kali mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang MD3.
Tetapi, meskipun sudah ada dua Putusan MK, namun Undang-Undang MD3 masih saja memuat ketentuan pasal-pasal yang mereduksi kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan itu, DPD RI berpandangan bahwa untuk melakukan penguatan kelembagaan, memang harus secara konsisten melaksanakan perintah Pasal 22C Undang-Undang Dasar 1945.
Keberadaan DPD RI harus diatur melalui Undang-Undang tersendiri. Sama seperti juga perintah kepada DPR RI agar diatur melalui Undang-Undang tersendiri.
Ditegaskan LaNyalla, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukan mengada-ada, tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa.
Intinya, bangsa ini juga memiliki ruang-ruang non-partisan yang juga berhak untuk ikut menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ke depan.
DPD RI mengharapkan adanya dorongan energi, dari seluruh elemen masyarakat Indonesia, khususnya media massa sebagai kekuatan dan pilar keempat dalam negara demokrasi.
“Kita harus berani bangkit dan melakukan koreksi untuk tujuan Indonesia yang lebih baik, lebih berdaulat dan berdikari, serta mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,†tukas LaNyalla.
Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin menyatakan perlunya meninjau ulang demokrasi atau meninjau ulang konstitusi.
“Konstitusi harus segera diidealkan, dengan sistem Pemilu one man one vote, tetapi elektoral tidak dihitung, hal itu tidak adil,†ujar Sultan sambil menambahkan, seharusnya kepemimpinan nasional seperti DPD, Ketuanya satu, tetapi wakilnya banyak, sebagai representasi Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur.
Wakil Ketua DPD Mahyudin mengakui bahwa ‘perlawanan’ Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sangat komprehensif.
Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono berpendapat, mereka yang berada di luar partai sudah seharusnya berjuang untuk mewujudkan keinginan rakyat.
Karena itulah DPD harus bisa menjadi saluran dan membuka saluran bagi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa. (H1/d)