Senin, 30 Desember 2024
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid

RI Dibangun di Atas Pondasi Toleransi, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Nasional

Redaksi - Kamis, 28 Januari 2021 09:46 WIB
649 view
RI Dibangun di Atas Pondasi Toleransi, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Nasional
(Foto: MPR)
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid 
Jakarta (SIB)
Isu intoleransi, kasus bullying, pemaksaan pendapat menjadi isu yang sering terjadi akhir-akhir ini. Adapun hal tersebut semakin menguat seiring meningkatnya penggunaan media sosial (medsos).

Merespons hal tersebut, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan toleransi adalah prasyarat utama berlangsungnya sebuah negara atau masyarakat yang beragam, termasuk di Indonesia. Ditambah, Indonesia berdiri dari hasil sebuah kesepakatan yang dasar utamanya adalah toleransi.

"Indonesia yang terdiri dari banyak agama, suku, adat istiadat yang berbeda-beda, bahasa, asal-usul, diperlukan pengikat. Semua itu dibangun prinsip atau prasyarat untuk menguatkan itu semua, yakni toleransi," ujar Jazilul dalam keterangannya, Rabu (27/1).
Lebih lanjut ia menjelaskan bangsa Indonesia juga telah sepakat untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai satu semboyan nasional toleransi.

"Kita memaklumatkan, mengumumkan bahwa kita ini masyarakat yang beragam. Meskipun beragam, kita satu kesatuan. Ini pondasinya," tuturnya.

Hingga saat ini, Jazilul menyebut Indonesia dibangun di atas pondasi toleransi. Oleh karena itu, menurutnya kasus-kasus bersifat rasialis, penistaan agama, bullying, penghinaan asal-usul orang atau kasus intoleransi lainnya tidak semestinya muncul di Indonesia.
"Indonesia yang dibangun berdasarkan hukum, semua masyarakat harus tunduk kepada hukum. Inilah yang mengatur toleransi," katanya.

Ia mengatakan toleransi mengandung dua dimensi. Adapun dimensi pertama yakni dimensi ketidaksetujuan dengan pendapat atau pikiran orang lain.

"Kalau setuju, nggak usah ada toleransi. Justru karena kita berbeda-beda pandangan, konsep pikiran. Karena ada dimensi ketidaksetujuan satu dengan yang lainnya maka diperlukan toleransi," katanya.

Sementara itu, dimensi kedua adalah tidak memaksakan pilihan dan pikiran kepada orang lain jika terjadi perbedaan pendapat.
"Dalam semua agama atau pun negara, itu selalu ada yang disebut bibit perbedaan bahkan cara pandang yang berbeda-beda dalam satu tempat," imbuhnya.

Selain itu, ia pun menyebut munculnya sikap yang menyalahkan orang lain atau memaksakan pikiran orang lain juga bisa menyebabkan tindakan intoleran. Bahkan, hal tersebut bisa menghasilkan perbuatan ekstrem, radikal, dan terorisme.

"Kalau itu sudah aksi. Awalnya tidak setuju, kemudian di situ tidak ada toleransi, dimensi kesepahaman tidak ada, akan muncul dimensi kedua pemaksaan pendapat," katanya.

Menurut Jazilul, banyak orang seringkali memiliki pikiran ekstrem dan radikal dengan membenarkan pikirannya sendiri.

"Dia tidak mau tahu dengan pikiran yang lain. Bahkan ada kelompok yang mengkafirkan maka boleh melukai orang lain bahkan boleh membunuh di luar kelompoknya karena menurut dia, semua yang di luar kelompoknya dianggap sesat. Ini berbahaya bagi kelangsungan sebuah negara," tuturnya.

Oleh karena itu, ia menyampaikan toleransi menjadi kebutuhan mutlak dan prasyarat berdirinya sebuah negara yang majemuk.
"Tanpa toleransi tidak mungkin ada kesepakatan, dan kesepakatan itu membutuhkan toleransi," pungkasnya. (detikcom/c)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru