Jakarta (SIB)
Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menguatkan vonis 8 tahun penjara mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Emirsyah Satar terkait kasus suap di PT Garuda Indonesia. Atas putusan itu, Emirsyah Satar mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Ya sudah diberi tahu (soal putusan banding) dan ES (Emirsyah Satar) sudah kasasi," kata pengacara Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan, saat dihubungi, Selasa (4/8).
Luhut mengatakan ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi Emirsyah mengajukan kasasi ke MA. Pertama, Emirsyah merasa tidak mendapat keadilan dalam penanganan kasus yang menjeratnya itu.
"Ya pak ES memutuskan untuk kasasi. Karena dirasa kurang adil. Misal kasus ini dari kasus DPA (Deferred Prosecution Agreement) di Inggris, ada 8 negara yang disebut. Tapi hanya di Indonesia jadi perkara. Lebih jauh lagi. PLN juga ada dalam DPA Inggris itu tapi KPK tidak usut. Jadi sep unequal before the law, Ini pertanyaan juga," ucap Luhut.
"Bukan membela diri dengan menunjuk kesalahan orang lain. Lebih pada tidak ada perlakuan yang sama di depan hukum. Itulah sebabnya minggu lalu sudah menyatakan kasasi," imbuhnya.
Selain itu, Luhut menyebut kliennya itu sebenarnya tidak aktif dalam proses pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia. Hal tersebut diperkuat dan diakui dalam putusan hakim.
"Intinya, ES tidak pernah secara aktif dalam pengadaan di Garuda, termasuk yang didakwakan, termasuk dengan vendor seperti Rolls-Royce dan Airbus. Ini diakui dalam putusan. Tapi dinyatakan suap aktif untuk mendapatkan sesuatu, jadi ada yang salah dalam penerapan hukum. Oleh karena itu harus diperbaiki MA," sebut Luhut.
Lebih lanjut, Luhut mengatakan Emirsyah juga tidak ada usaha menyembunyikan apa yang diterima dari Soetikno Soedarjo. Bahkan, menurutnya, Emirsyah Satar sudah mengembalikan apa yang diterima dari Soetikno Soedarjo tersebut.
"Betul ada penerimaan tapi itu tidak langsung dan baru tahu kemudian. Dan akhirnya sudah dikembalikan dan pengembalian sudah diakui dan ditegaskan SS dalam sidang. Masa disuruh dikembalikan yang sudah dikembalikan? Karena itu keliru dalam penerapan hukum," kata Luhut.
Alasan terakhir, Luhut menilai kasus yang menjerat Emirsyah Satar itu tidak ada perhitungan kerugian negara. Dengan demikian, ia menilai hukuman untuk membayar uang pengganti kurang tepat.
"Terakhir tidak ada perhitungan kerugian negara in case GA dalam hal ini. Tapi disuruh bayar uang pengganti kepada Garuda padahal uang itu sudah kembali ke SS dan tidak ada perhitungan kerugian pula," ujarnya.
Belum Tentukan Sikap
Menanggapi upaya hukum kasasi tersebut, KPK mengaku belum menentukan sikap.
"Saat ini KPK masih menunggu salinan resmi putusan lengkapnya dari PT DKI Jakarta. Setelah itu akan dipelajari seluruh pertimbangannya dan kemudian akan segera mengambil sikap apakah akan kasasi ataukah menerima putusan tersebut," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri kepada wartawan.
Namun, Ali mempersilakan jika Emirsyah ingin mengajukan upaya hukum kasasi karena hal itu merupakan hak sebagai terdakwa. Ia mengatakan jaksa KPK tetap yakin bahwa Emirsyah terbukti melakukan suap dan pencucian uang terkait kasus pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia sebagaimana telah diputus majelis hakim.
"Terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan baik Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Jika sekarang terdakwa kasasi, tentu hal tersebut adalah haknya, namun KPK yakin pertimbangan hakim judex facti tingkat pertama dan banding tersebut telah sesuai fakta-fakta hukum di persidangan," ujar Ali.
Untuk diketahui, Emirsyah Satar divonis 8 tahun hukuman penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Emirsyah dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang totalnya senilai Rp 46 miliar.
Kemudian putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Vonis itu diketok pada Jumat (17/7). Wakil Ketua PT Jakarta Andriani Nurdin menjadi ketua majelis di perkara itu. Adapun anggota majelis adalah I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Jeldi Ramadhan, dan Anthon R Saragih.
"Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Mei 2020 Nomor 121/Pid.Sus-Tpk/2019/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip detikcom dari website-nya, Senin (20/7). (detikcom/c)