Jakarta (SIB)
Total anggaran belanja kuota internet selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) alias daring sangat tinggi, jika dihitung mencapai sekitar Rp 4,52 triliun setiap bulannya. Angka itu berasal dari 45.299.906 murid yang berasal dari SD, SMP, SMA, SMK di seluruh Indonesia pada periode pembelajaran tahun 2017/2018.
Tingginya biaya belanja kuota internet pun menjadi persoalan pada saat praktik di lapangan. Sebab, tidak semua kondisi ekonomi murid mampu apalagi pada saat pandemi Corona. Belum lagi terdapat murid yang rumahnya belum teraliri listrik dan infrastruktur internet.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan permasalahan pemenuhan uang belanja kuota internet bisa dibiayai dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Aturan itu tertuang pada Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS dan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOP PAUD dan Kesetaraan di masa kedaruratan Covid-19.
"Sebagai referensi Permendikbud 19 Tahun 2020 dan Permendikbud 20 Tahun 2020," kata Kepala Biro Kerjasama dan Humas Kemendikbud Evy Mulyani, Senin (27/7).
Evy memang tidak menjelaskan secara spesifik terkait dengan dana BOS bisa dimanfaatkan untuk membeli kuota internet bagi seluruh murid. Namun mengacu pada Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 secara jelas dana BOS bisa dimanfaatkan pembelian kuota internet selama pandemi Corona.
Keputusan itu tertuang pada pasal 9A, di mana selama masa penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat maka sekolah dapat menggunakan dana BOS reguler untuk pembiayaan langganan daya dan jasa.
Pembiayaan tersebut dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam rangka pelaksanaan pembelajaran dari rumah.
Lalu, bisa juga untuk pembiayaan administrasi kegiatan sekolah lainnya seperti pembelian cairan atau sabun pembersih tangan, pembasmi kuman (disinfectant), masker atau penunjang kebersihan lainnya.
Selain itu, dana BOS juga bisa digunakan oleh Kepala Sekolah untuk membayar honor para guru non ASN atau guru honorer yang diharuskan mengajar dari rumah. Adapun, aturan ini diteken oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada 9 April 2020 dan diundangkan pada 13 April 2020.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai, dengan banyaknya aktivitas yang mesti dilakukan secara online muncul sejumlah permasalahan di lapangan. Menurutnya, pemerintah mesti sigap untuk masalah ini.
"Dan dengan PJJ terlihat banyak permasalahan seperti akses listrik yang tidak ada, akses internet yang belum tersedia, juga akses internet yang lambat dan tidak stabil. Kalaupun ada akses, tidak semua memiliki perangkat ponsel dan laptop serta pulsa. Para Menteri harus sigap mengatasi hal tersebut," katanya kepada detikcom, Senin (27/7).
Menurutnya, pemerintah mesti turun ke lapangan untuk memasang jaringan internet di wilayah yang belum terjangkau dan memberikan sumbangan perangkat seperti laptop dan ponsel. Kemudian, perlu juga subsidi bahkan internet gratis.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, pemerintah memang perlu memberi subsidi kuota internet khususnya untuk kegiatan pendidikan. Sebab, internet memakan biaya yang cukup besar.
"Kalau sekarang kebutuhan katakanlah mereka dapat bansos, masyarakat miskin katakan paling tinggi Rp 600 ribu, tapi per bulan untuk biaya internet satu siswa bisa lebih dari Rp 200 ribu itu kalau satu anak, kalau berapa anak bayangkan itu karena kuotanya besar," ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan anggaran untuk kegiatan pendidikan ini. Jika tidak, maka akan berisiko pada daya beli masyarakat. (detikfinance/c)